Iklan

Senin, 18 Februari 2013

~In Bali Everyday Is Holiday~ part 3

Yeah...menginjakkan kaki di terminal Badung menjadi suatu moment  yang takkan terlupakan untukku. Lebay. Tapi kenapa bisa begitu? Jawabannya karena akan ada hal yang takkan terlupakan yang terjadi disini. Apa itu? Ikuti saja tulisan ini ------------------------------------------------------------------------------------>
<---------------------------------------------------------------------
Apa? Kau belum tahu apa sebabnya? Kok bisa? Oooh...belum diceritain ya? *digampar pake' Hadits Muslim*

Waktu itu subuh-subuh. Dan temperaturnya cukup dingin untuk membuat bulu kudukku berdiri dari dalam jaket arsenal yang ku pakai waktu itu. Kesan pertamaku pada terminal itu, terminal itu besar dan bagus sekali. Tidak heran karena ini Bali bung! Karena kami semua capek kami langsung duduk di bangku-bangku yang ada di sana. Duduknya pun berjauh-jauhan karena kami ingin berbaring di setiap bangku yang kami lihat. Aku pun sebenarnya tidak ingin berbaring tapi badan sudah capek sekali, apa daya hobi ku di PPM pun kulakukan, yakni tidur. Kami tidak ingin merepotkan Ipeh dengan menjemput kami malam-malam, makanya kami memutuskan untuk menghubunginya setelah adzan subuh berkumandang. Walhasil, kami pun menunggu selama dua jam-an di terminal. Karena badan sangat capek kita semua kecuali Abu tidur di bangku-bangku terminal tersebut. Abu, sebagai seorang Senkom di mataku seperti merasa bertanggungjawab dengan statusnya tersebut dan menjaga kami semua di tengah malam tersebut tanpa memejamkan matanya. Aku ingin menemaninya namun apa daya aku hanya dapat menemaninya di alam mimpi.

Ketika Ipeh dan ayahnya telah datang untuk menjemput kami semua, kami langsung bergegas untuk menuju mobilnya Ipeh. Beberapa dari rombongan kami sudah duluan sampai di sana. Sedangkan sebagian besar masih tertinggal di belakang. Tiba-tiba seseorang dengan pakaian SatPam menegur kami dan melarang kami melewat jalan yang ingin kami lalui, dan kami disuruh memutari jalan. Kami ikuti saja perkataan orang itu dan tiba-tiba kami melewati sekumpulan preman terminal. Ya, kami hanya melewati mereka hingga sampai di tempat Ipeh berada. Kami bersalaman dengan ayahnya Ipeh dan sudah siap-siap untuk naik ke dalam mobil sampai tiba-tiba...

Preman-preman itu datang bergerombol dan dengan suara lantang dan logat Bali nya bertanya, "Ini mau kemana ini?!". "Mohon pengertiannya bapak, supaya naik angkot saja, ya", kata seorang diantara mereka kepada ayahnya Ipeh. "Sialan orang-orang ini!", pikirku dalam hati. Tiba-tiba Ocan menitipkan tasnya padaku dan seketika lari dengan sangat kencang ke arah terminal. "Oh, dia mau panggil bantuan rupanya", begitu pikirku. Perbincangan antara ayahnya Ipeh dengan para preman itu pun berlanjut. "Mau jemput keponakan pak", kata ayahnya Ipeh. "Oh, kalau mau jemput tidak boleh lebih dari tiga orang pak", jawab seorang diantara mereka.

ATURAN DARI MANA NGGAK BOLEH LEBIH DARI TIGA ORANGG??!!

Duh, kalau cari alasan yang pinter dikit dong... Lalu, Ocan datang dari arah terminal dengan berlari. "Itu Ocan!", seruku pada yang lainnya. "Akhirnya dia telah memanggil bantuan", pikirku dengan perasaan yang lega. Aku berharap para SatPam bisa mengusir mereka-mereka ini. Sesampainya ia disampingku aku bertanya padanya, "Kamu tadi ngapain?"

"Dompetku ketinggalan", jawabnya

(-__-) "Lah, kamu nggak manggil Satpam?", tanyaku padanya.

"Nggak".

(-_____-) "Aku pikir tadi kamu mau manggil Satpam buat ngusir orang-orang ini"

"Tapi kayaknya Satpamnya juga komplotan mereka deh", katanya. Betul juga sih kata dia pikirku.

"Soalnya, tadi Satpamnya ngarahin kita semua ke arah preman-preman itu", kata Angga. Iya, sepertinya memang betul semua orang disini sudah pren. Singkat cerita kita tidak melawan dan dengan alasan sholat dulu kita ke musholla untuk sholat subuh dan membicarakan strategi berikutnya.

Pilihannya antara lari dan ikut saja dengan mereka. Setelah berdiskusi kita memutuskan untuk ikut saja dengan mereka. Kami pun naik dan angkot sudah mulai jalan. Sedangkan mobilnya Ipeh masih diam. Sepertinya Ipeh dan yang lainnya yang ada di dalam mobil tidak tahu kalau kita sudah di dalam angkot. Perjalanan kita naik angkot itu belum sampai satu kilometer, dan kami sudah minta berhenti. Semuanya turun, termasuk sang sopir yang tinggal sendirian.

"Hajar orang ini sekarang juga rame-rame!", begitu pikirku waktu itu. Begitu kesalnya aku padanya. Badannya juga buncit. Kayaknya nggak bisa ngelawan kalau di keroyok.

Tapi kami mengakhirinya dengan memberinya uang seratus ribu rupiah (-_-)

"Hebat", kata Idam, "Seratus ribu nggak nyampe satu kilometer". Haha

Memang pantas untuk sopir itu ditambah sebuah bogem untuk menemani pemberian seratus ribu kami waktu itu.
Mobilnya Ipeh pun datang dan kami semua naik. Kita dibawa ke masjid daerah di Denpasar. Mandi, lalu berfoto-foto disana:





Dari situ kami menuju rumahnya Ipeh. Lalu pergi ke pantai Sanur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar