Iklan

Minggu, 12 Februari 2012

Cinta

Aku rasa aku sudah terlalu dibutakan oleh cinta. Cintaku tidak mengenal jarak, tidak mengenal siapa. Padahal aku belum pernah bertemu dengan cewek ini, aku belum pernah mendengarnya berbicara, aku bahkan tidak tahu bagaimana caranya tersenyum. Yang aku tahu hanya karakternya yang sangat kusuka dan wajahnya lewat foto. Dia bahkan bukan ras Indonesia.
Aku benar-benar tidak mengerti kenapa perasaan khusus bisa tumbuh untuknya.
Sungguh, cinta itu aneh. haha

Kau habiskan hidupmu untuk apa?

Kau habiskan hidupmu untuk apa?

Mungkin kalian punya jawaban masing-masing.
Dengar, selama kita hidup, kita diajarkan bagaimana caranya menjalani hidup ini.
Dari kecil kita disuruh sekolah supaya bisa dapat pekerjaan ketika dewasa.
Dengan polosnya kita ikuti apa yang mereka katakan.

Oh, apa yang baru saja kutulis? Kenapa malah membicarakan sekolah? Dengar, di perjalanan hidup kita lewati banyak hal yang meninggalkan kesannya masing-masing...kita punya kekuatan untuk memilih...memilih apa yang akan kita lakukan.
Perumpamaan kontradiktifnya adalah sekolah. Mungkin itulah sebabnya aku tadi berbicara tentang sekolah.
Kontradiktif bagaimana? Akuilah, kalau dari kecil kita semua disuruh untuk sekolah tanpa tahu benar apa manfaatnya belajar membaca dan menulis. Dengan polosnya mengikuti keinginan orang lain.
Sekarang, ketika kau sudah tumbuh dewasa, tidak ada yang bisa mengaturmu lagi.
Kau bertanggung jawab penuh atas hidupmu sendiri, bukan orang lain. Jadi,
apapun yang akan kau alami dan siapapun yang akan menjadi dirimu nantinya adalah konsekuensi dari perbuatanmu sekarang.
Bila kau malas, tanggung sendiri takdirmu nantinya.
Bila kau berdiri untuk sesuatu sekarang, mungkin kau tidak akan menyesalinya di kemudian hari.
Jadi, untuk surga atau neraka; untuk kaya atau miskin; untuk berhasil atau gagal; untuk bahagia atau sedih; untuk keramaian atau kesendirian; untuk cinta atau patah hati...semuanya pilihanmu sendiri.
Aku tak begitu mengerti tentang peraturan Tuhan jika kita memang sudah diberi jalan masing-masing untuk setiap aspek kehidupan kita.
Setiap dalil bercerita tentang konsekuensi-konsekuensi atas setiap perbuatan kita. Bahkan memberi kita arahan tentang apa yang seharusnya kita lakukan dan apa yang tidak seharusnya kita lakukan.
'Bila kita berdoa, maka kita akan bisa mengubah qodar kita', tapi 'Kita berdoa untuk meminta qodar itu sendiri telah di-qodar'.

...

Kalau dipikir-pikir lagi, kita memang tidak punya pilihan. Pilihan yang kita buat sendiri sudah merupakan ketentuan.
Dan berpikir lagi bahwa aku mendapatkan hidayah ini...dari sekian banyaknya manusia di bumi ini, mengapa aku harus mendapatkan hidayah ini? Kenapa? Kenapa Tuhan mempercayakan dan memberiku kesempatan untuk bisa masuk ke dalam surganya?
Dengan memikirkan hal itu, sudah cukup untuk membuatku bersyukur dengan sangat. Tapi,
entah kenapa aku merasa ada yang kurang padaku.
Tuhan...bila Kau sudah mengatur semuanya, tidakkah Kau merasa bahwa dunia ini tidak adil?
Apakah tidak kasihan orang-orang yang akan masuk ke dalam neraka untuk selamanya?

SELAMANYA...

Dan ketika itu ayat Mu berkata, "dan sesungguhnya apabila mereka dikembalikan lagi ke dunia maka niscaya mereka akan kufur kembali". TAPI, bukankah yang membuat mereka kufur itu Engkau ya Tuhan? Jadi, kenapa?

Begitulah yang kupikirkan. Jadi, lagi-lagi dengan perumpamaan 'SEKOLAH' kita menghabiskan waktu hidup kita untuk beribadah menurut agama yang kita percayai masing-masing. Kita dengan poosnya mengikuti apa yang mereka katakan, apa yang mereka bilang kita sebaiknya lakukan dan tidak lakukan. Kau mau bilang aku ateis? Tidak. Aku bukan ateis bukan juga orang yang setengah percaya setengah tidak. Aku percaya Tuhan ada. Kalau aku ateis berarti aku juga mengikuti apa yang orang-orang ateis katakan. Dan itu berarti aku tidak melakukan perubahan apapun.

Dengar, penjelasan bertele-tele diatas memang sepertinya tidak ada hubungannya dengan judul yang kubuat tapi cobalah berpikir, berpikir tentang apa yang ingin kau habiskan dalam hidupmu.
Kau bisa habiskan untuk menjadi seorang muslim yang taat, atau mungkin menjadi ateis yang bebas, menjadi sosialis, menjadi seorang kapitalis, menjadi tentara yang berperang di medan perang, menjadi penulis yang mengispirasi orang dengan cerita, menjadi penyanyi, menjadi guru, menjadi apapun yang kau inginkan. Ingat...selalu ada pilihan. Dan pilihan itu tidak akan memilih dirinya sendiri.
Kalau aku sih, tidak ingin lagi menghabiskan sisa waktu hidupku di dunia maya (baca: social media) seperti Twitter, Facebook... Aku sudah menghabiskan begitu banyak waktu, berjam-jam di depan laptop hanya untuk mencari kerjaan selagi nganggur. Hanya untuk mencari informasi tentang apa yang sedang terjadi di luar sana, yang notra bene tidak berpengaruh apa-apa terhadap kehidupanku pribadi.
Dengar, daripada aku terus menghabiskan waktu di depan laptop dan tidak mendapatkan apa-apa, sebaiknya aku berbuat sesuatu yang lain...sesuatu yang lebih berguna, sesuatu yang akan menambah nilai diriku mungkin di beberapa tahun kemudian. Kalau untuk pribadiku sendiri, itu adalah dunia seni rupa dan storytelling. Alasannya, karena selama bertahun-tahun hanya itulah yang kupikirkan. Yang selama ini aku impikan aku dapat lakukan...menjadi master di bidang tersebut. Mungkin beda dengan gairah kamu.
Jadi, setelah membaca post ini, pikirkanlah lagi...apa kau ingin kembali ke Twitter atau Facebook mu, atau kau ingin menciptakan sesuatu, apakah kau ingin mengubah dunia? Berguna bagi dunia? Daripada hanya menghabiskan energi bumi untuk makan dan untuk menjagamu tetap hidup...
Itu pilihan kamu. Jadi, pilihlah.

Bersyukurlah

Di kala kau merasa bahwa banyak yang memiliki harta yang lebih dibandingkan kau, ingatlah...banyak dari mereka yang di luar sana masih susah mencari makan untuk bertahan hidup.
Di kala kau merasa sakit dan merasa seperti tak memiliki daya apa-apa, ingatlah...banyak dari mereka yang sudah divonis akan meninggal oleh dokter namun masih bisa ceria.
Di kala kau merasa dirimu sebatang kara dan kesepian, ingatlah...banyak anak di jalanan yang mungkin tidak punya orang tua, bayangkan orang-orang yang hidup sendirian di gunung dan menyendiri, apakah mereka tidak lebih kesepian daripada kamu?
Di kala kau merasa selalu ada yang kurang dengan dirimu, bahwa kau seharusnya lebih bernilai daripada ini, ingatlah...banyak diantara kita yang bahkan memiliki kekurangan permanen, cacat mental atau fisik, tapi banyak juga yang masih berprestasi.
Di kala kau merasa seperti pecahan gelas karena hatimu patah oleh cinta, ingatlah...banyak diantara teman kita yang merasa lebih daripada yang pernah kamu rasakan.
Di kala kau merasa tidak bersyukur terhadap hidupmu, ingatlah...banyak orang yang hidup lebih sengsara dibandingkan dirimu namun masih bisa tersenyum.
Bagaimana bila inilah hidupmu yang paling pol? Pernah kau bayangkan bila mungkin inilah rezeki terbesarmu, dan sekarang kau bahkan minta lebih lagi tanpa bersyukur terlebih dahulu?
Dan ingatlah, orang yang bersykur itu merasa cukup dengan apa yang telah dimilikinya.

Kamis, 09 Februari 2012

Yerrio

Cerita 'Truth or Lie' yang tadinya mau kubuat jadi kubatalkan. Alasannya? Karena terlalu rumit dan akan memakan terlalu banyak waktu untuk menyelesaikannya. Aku tak mendapat konflik apapun yang cukup berat dengan tema 'kebohongan' itu.
Jadi aku beralih ke cerita yang pernah kubuat sebelumnya. Judulnya kayaknya "Yerrio". Ia adalah nama tokoh utama di cerita yang berkisah tentang seorang yang ingin menyelamatkan planetnya dari kehancuran.
Plotnya pun sudah tersusun rapi di otakku. Tinggal kubuat storyline-nya.

Belum bisa menyelesaikan cerita

Sudah sekitar 3 minggu aku mencoba untuk memantapkan ide cerita dengan tema 'kebohongan' ini. Tapi aku masih bingung dengan konflik yang akan kumasukkan. Apa yang bisa dijadikan masalah dengan kemampuan untuk berbohong tanpa ketahuan? Akan ga masuk akal kalau orang bisa bohong tanpa ada yang tahu.
Masalah yang akan kuangkat ingin sekali aku buat kompleks. Aku percaya aku bisa tapi masalahnya ada pada rasionalitas cerita. Aku ga bisa membuat cerita sembarang yang ga masuk akal. Dunia untuk cerita yang tidak masuk akal haruslah juga tidak masuk akal.
Solusinya: bikin konflik yang tidak terlalu banyak, cukup satu tapi cukup kuat untuk dibawa menjadi sebuah cerita.
Untuk itu aku akan terus memikirkannya. Sampai dapat.

Tips in how to make good conlicts in stories

Good Stories Have Good Conflict

Whether writing a tale of good versus evil or a story about people living ordinary lives, conflict is the pivot upon which a good story turns and the reason why readers will keep turning the page. Determining the conflict and analyzing how it affects the characters leads to a powerful and believable story.
A good novel will always have a good conflict—the kind that will make you cheer for the protagonist (the good guy) and want to boo the antagonist (the enemy, bad guy). It needs to be balanced enough to create a true struggle where both opponents are equally or within a hair of being equally powerful and capable of defeating each other so it builds wonderment, fear, and suspense for the reader, fear that the hero will not overcome, and tension to keep the reader turning the page to find out what will happen.

Types of Conflict
If we think back to our high school English classes, we probably remember being taught about the different kinds of conflict. Here they are as a refresher with a few examples:
  • Man vs. Man: Achilles vs. Hector in the “Iliad”; Jean Valjean vs. Javert in “Les Miserables”; King Arthur vs. Mordred in the Arthurian legend.
  • Man vs. Society: This is usually the individual versus city hall, or the person who speaks up against an unjust rule. In Ayn Rand’s “Atlas Shrugged,” it is the capitalists versus those who are trying to create a socialist world. In “To Kill a Mockingbird,” the lawyer must defend a man in court against a racist society.
  • Man vs. the Supernatural: Van Helsing & Co. fighting Dracula. Humanity fighting aliens in “War of the Worlds.”
  • Man vs. Nature: Most Jack London stories—man has to survive in winter or in the wilderness while alone and only able to rely upon his own wits. Tarzan vs. the Lion.
  • Man vs. Himself: Man faces his own demons or weaknesses; he may have to overcome his fear of heights to rescue the girl; he may have to overcome his alcoholism to save his family from falling apart. He may have to find the courage to reject his overprotective mother for the girl he loves, in which case we also have man vs. man (his mother). Sometimes the conflict is subtle, such as the heroine simply “finding herself” as in Kate Chopin’s “The Awakening.”
Elements of Conflict
Beyond deciding on what the form of conflict will be (and good fiction will often have more than one kind of conflict), the conflict has to be strong enough to keep the reader interested. It must be relevant to the story, believable, further the plot, and develop the main character.
  • Relevance to the Plot and Resolution: Good conflict must be relevant to the plot of the novel. If the character must rescue the princess from the dragon, obviously there is man vs. the supernatural (the dragon). However, other conflicts might exist such as man vs. society—if the man is a lowly goatherd, the king may not want him to marry the princess because he’s not of royal blood. The man might also be a coward, so he has to overcome his own fears (man vs. himself) so he is brave enough to stand up to both the king and the dragon. Each of these forms of conflict is relevant to the overall plot and resolution to allow the goatherd to marry the princess. However, it would not be relevant to throw in a story about the man having to rescue his goat from a wolf, although that would also be conflict, unless you can connect it to the main plot—maybe the wolf is the minion of the dragon and sent to steal the goat to distract the man from discovering where the dragon is holding the princess as its prisoner.
  • Believability: The conflict must be believable. If the reader does not feel the conflict is believable, the story will fail, will become laughable, or will result in boredom. For example, man vs. bunny rabbit is not going to be an effective form of conflict because man can easily defeat bunny rabbit. However, bunny rabbit vs. bunny rabbit can result in a powerful fantasy story like “Watership Down” where there is a war between the rabbits that also serves as a metaphor for human society. David and Goliath is another example of an unbelievable conflict, but this time with a twist. David could not physically conquer Goliath based on strength alone, but with wit and skill and his faith in God, he succeeds in killing Goliath with his slingshot.
  • Further the Plot: The conflict must always further the plot. If the main character is on a quest to rescue the princess, it makes no sense for him to meet a pirate and fight him unless that conflict can be tied to the greater goal. If the goatherd can engage the pirate in swordplay and defeat him, and then spare the pirate’s life in exchange that the pirate and his men will go with him to help him rescue the princess (something that may seem impossible for the hero on his own) then the conflict between the pirate and the hero can be used to further the plot.
  • Develop the Character: The conflict has to be relevant to who the character is. If your hero is a marathon winner and he has to race a pygmy to the top of a mountain to achieve his goal, it’s not going to be much conflict (unless you’re going for comedy). But if the hero must battle snakes and the thing he fears most in the world is snakes, then the character becomes dynamic, having to pull upon his courage to face the conflict. Often the conflict may appear to be something like battling an outside force, only for the character to realize he is facing an internal test—a need to reconfirm his goodness, to justify his past actions, to overcome his internal demons, and he only succeeds in winning the conflict when he comes to a place of peace within himself.
When you sit down to write your novel, you might start with the idea for a character such as a beautiful princess, or a plot such as regaining the throne for the rightful king, but the next question is to ask yourself what the conflict will be: What stands in the way of the king regaining his throne? The evil wizard who wants complete power. What does the princess want most—true love? What stands in the way of her achieving true love? Her father will only let her marry a prince but she loves the goatherd. That’s where the conflict comes in, the problem that must be overcome, and the crux around which the plot revolves to drive the book on to its resolution. From there, you figure out a way for the goatherd to overcome the king’s objections, and you figure out what powers the wizard has and how those powers might be overcome to create the conflict. Then you’ll have good conflict. And without conflict, there is no story.

Sourxe: http://www.readerviews.com/Articles-Writing_Good_Stories_Have_Good_Conflict.html